Pagi Kuning Keemasan

image

Pernahkah kalian begitu mencintai seseorang hingga saat kalian menyadari bahwa cinta yang kalian rasakan tidak bersambut, kalian ingin lari ke suatu tempat yang jauh dan bersembunyi dari segala hal tentangnya? Aku sedang mengalaminya dan untuk alasan itulah aku berada di sini. Di sebuah pulau kecil di daerah Belitung yang entah mengapa dinamai dengan nama salah satu bumbu dapur, Lengkuas. Apa karena di pulau ini banyak tumbuh tanaman lengkuas? Atau penduduk di sini sangat suka menggunakan lengkuas dalam masakan mereka? Aku menggelengkan kepalaku untuk mengusir pikiran yang mulai melantur kemana-mana.

Kuhirup udara pulau ini yang terasa begitu bersih dan segar sebanyak-banyaknya. Matahari memancarkan sinarnya yang berwarna kuning keemasan, membuat pemandangan pantai yang memikat hatiku sejak baru tiba di sini menjadi tampak lebih sempurna. Sayang, aku tidak bisa membagi keindahan ini dengannya. Sial! Aku teringat dia lagi. Sudah jauh-jauh pergi  ke pulau ini, kenapa masih juga teringat dia?

Peristiwa dua malam lalu seenaknya hadir kembali dan mengobrak-abrik kedamaian yang kurasakan pagi ini. Aku masih ingat kekecewaan sekaligus rasa malu yang harus aku tanggung akibat kenekatanku malam itu. Aku, perempuan yang belum pernah sekalipun menyatakan perasaannya pada pria manapun, nekat memberanikan diri membuka rahasia perasaan yang sudah kusimpan bertahun-tahun langsung  di hadapannya. Dan reaksi apa yang aku dapatkan darinya? Tidak ada. Dia hanya terkejut sesaat lalu menundukkan kepalanya dalam diam.

Celotehan-celotehan riang para wisatawan mengalihkan pikiranku sejenak dari bayangannya. Aku mengamati para wisatawan yang sedang bergiliran masuk ke mercusuar. Aku jadi ingat pesan Shana sebelum aku berangkat. Katanya, aku tidak boleh lupa naik mercusuar yang menjadi simbol pulau ini. Shana juga menggambarkan pemandangan dari atas mercusuar adalah pemandangan yang super sempurna, seperti surga.

Aku baru saja hendak melangkahkan kakiku menuju mercusuar ketika aku mendengar suara seorang pria memanggil namaku. Aku melayangkan pandanganku ke seluruh penjuru pantai untuk mencari sumber suara tersebut. Dan apa yang kutemukan membuat tubuhku kaku seketika. Orang itu, dia yang menjadi alasanku lari ke tempat ini, kini berdiri beberapa meter dariku seraya melambaikan tangannya. Jantungku mempercepat detaknya ketika ia berlari kecil ke arahku.

“Akhirnya ketemu juga,” ujarnya sumringah.

“Mas Median? Nga-ngapain ke sini?” suaraku agak terbata saking terkejutnya.

Ia tersenyum lebar lalu menoleh ke arah mercusuar yang menjulang tinggi dengan gagahnya.

“Jadi itu mercusuar yang terkenal?” tunjuknya. “Kamu udah naik?”

“Belum,” jawabku pelan.

“Nanti kita naik sama-sama ya,” lagi-lagi ia tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi.

Apa maunya pria ini? Setelah membuatku kecewa dan malu, untuk apa dia muncul di hadapanku sekarang? Aku pergi untuk menetralkan perasaanku dan menebalkan perisai untuk melawan pesonanya. Tapi dia malah muncul dan merusak usahaku.

“Mas…,”

“Waktu itu kamu nggak sopan, deh. Main kabur aja padahal aku belum sempet ngomong. Udah gitu, berkali-kali aku coba hubungi kamu tapi ponselmu mati. Aku datangi ke rumahmu tapi kamu nggak ada. Untung Shana baik hati, setelah dibujuk-bujuk akhirnya dia mau kasih tahu kamu ada di mana,” sungutnya panjang lebar tanpa memberiku kesempatan bicara. Bibirnya memberengut seperti anak kecil yang sedang ngambek.

“Jadi, maksud Mas Median datang ke sini apa?” tanyaku tanpa berbasa-basi.

“Ya untuk nyusul hatiku yang kamu bawa pergi malam itu dong,” jawabnya.

Spontan tawaku pecah mendengar gombalannya yang norak itu. Mas Median yang terkenal pandai bahkan sampai dijuluki ‘ensiklopedi berjalan’ itu ternyata gombal juga. Tanpa aku sadari aku sudah lupa dengan kekecewaan yang beberapa detik lalu masih menyanderaku.

“Kok ketawa? Aku serius tahu!” sungutnya.

“Iya, maaf….” aku berusaha menahan tawaku.

Aku sedikit tersentak saat tiba-tiba dia meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku bisa merasakan hangatnya menjalar sampai ke hatiku. Lalu perlahan dia mendekatkan  tubuhnya padaku. Sepasang mata di balik kacamatanya menatapku tanpa berkedip.

“Maaf, karena ternyata aku nggak sepintar yang orang-orang pikir. Buktinya aku nggak tahu bagaimana caranya mengatakan betapa aku mencintaimu,” bisiknya lembut di telingaku.

“Kamu memang manusia paling bodoh,” bisikku di sela tangisan bahagiaku.

Leave a comment